PANTAU FINANCE– Isu ketimpangan pendidikan kembali mengguncang publik. Sejumlah kebijakan kepala daerah dari Partai Gerindra disebut telah merugikan sekolah swasta dan lembaga pendidikan masyarakat. Sorotan kini mengarah ke dua provinsi besar: Jawa Barat dan Lampung. Para pendidik menilai, kebijakan yang diambil pemerintah daerah di bawah kendali kader Gerindra tidak berpihak pada keadilan dan masa depan pendidikan rakyat.
Kebijakan Gubernur Gerindra di Jawa Barat: Sekolah Swasta Melawan
Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi menjadi sorotan usai menerapkan aturan rombongan belajar (rombel) dengan kapasitas hingga 50 siswa per kelas. Kebijakan ini dianggap melanggar prinsip pemerataan pendidikan. Lebih dari lima organisasi sekolah swasta tingkat SMA menggugat Gubernur Dedi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Mereka menilai, kebijakan tersebut mematikan peluang sekolah swasta untuk mendapatkan siswa baru dan menurunkan kualitas pembelajaran.
“Bagaimana mungkin satu kelas diisi 50 siswa? Itu bukan belajar, tapi bertahan hidup di ruang sempit,” ujar salah satu kepala sekolah swasta di Bandung. Ia menilai kebijakan ini memperlihatkan minimnya empati pemerintah terhadap kondisi sekolah non-negeri yang telah lama menopang sistem pendidikan di Indonesia.
Tak hanya itu, kebijakan tersebut disebut-sebut juga menabrak regulasi teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membatasi jumlah maksimal siswa per rombel. Para guru dan kepala sekolah merasa seolah-olah sekolah swasta sedang dilucuti haknya perlahan-lahan. Mereka pun mendesak Presiden Prabowo Subianto turun tangan agar keadilan pendidikan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Sekolah Swasta di Lampung Kritis: Pemerintah Daerah Dinilai Tutup Mata
Sementara itu, di Lampung, keresahan tak kalah besar. Para kepala sekolah swasta di provinsi ini mengaku tertekan dengan kebijakan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (RMD), yang juga merupakan kader Gerindra. Mereka menilai, RMD secara perlahan “mematikan” eksistensi sekolah swasta dan Lembaga Pendidikan Masyarakat (LPM) melalui kebijakan penerimaan siswa baru yang dianggap tidak adil.
Data menunjukkan, SMA dan SMK negeri di Lampung telah menerima lebih dari 12.000 lulusan SMP pada tahun ajaran baru, jauh melampaui kapasitas kelas dan rombongan belajar yang wajar. Akibatnya, hanya sekitar 2.000 siswa tersisa untuk ratusan sekolah swasta di provinsi tersebut. Kondisi ini membuat banyak sekolah swasta kesulitan bertahan karena minimnya murid dan dana operasional.
Lebih parahnya, Pemerintah Daerah Lampung juga diduga membiarkan berdirinya SMA Siger di Bandar Lampung—sebuah sekolah yang belum memiliki legalitas penuh. Meski masih dianggap “ilegal” oleh sebagian kalangan, sekolah itu justru didukung dengan dana APBD, sementara sekolah swasta legal tidak menerima bantuan dana operasional, BOS daerah (Bosda), maupun BOP selama periode 2025–2026.
“Bagaimana mungkin sekolah ilegal dibiayai negara, sementara sekolah yang sah justru ditelantarkan?” ujar salah satu pengurus forum kepala sekolah swasta di Lampung. Ia menegaskan bahwa ketidakadilan ini bisa memicu kehancuran sistem pendidikan di daerah.
Guru Swasta Bersatu: Siap Temui Presiden dan Tuntut Keadilan
Situasi semakin panas ketika Gerakan Guru Anti Diskriminasi (Granad) Indonesia mengumumkan akan menemui Presiden Prabowo Subianto pada 30 Oktober 2025 mendatang. Mereka juga berencana mendatangi Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan untuk menuntut keadilan bagi para guru swasta dan guru madrasah.
Granad Indonesia menuntut agar pemerintah segera mengangkat guru swasta dan madrasah menjadi ASN atau minimal Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Selain itu, mereka meminta pelunasan pembayaran inpassing bagi guru yang telah memiliki SK resmi, serta percepatan proses sertifikasi yang telah diatur dalam undang-undang.
Bagi mereka, perjuangan ini bukan sekadar tentang gaji atau status, melainkan tentang martabat pendidikan nasional. Guru swasta merasa telah lama menjadi tulang punggung pendidikan di daerah-daerah terpencil, namun masih dianggap “kelas dua” dibandingkan tenaga pendidik negeri.
Pertarungan ini kini menjadi ujian bagi pemerintahan baru Prabowo–Gibran. Apakah mereka akan berpihak pada keadilan dan keberlangsungan pendidikan rakyat, atau justru membiarkan sistem pendidikan semakin timpang karena kebijakan elitis yang hanya menguntungkan segelintir pihak?
Pertanyaannya kini, mampukah pemerintahan Prabowo–Gibran membuktikan bahwa pendidikan adalah hak semua warga, bukan hanya milik birokrasi dan kekuasaan?***