PANTAU FINANCE- Pagi yang semula hangat mendadak berubah menggelegar ketika ingatan melayang pada kisruh pendirian SMA swasta Siger di Kota Bandar Lampung. Seperti kilatan memori, kasus ini menyeret dua nama besar: Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung, Eka Afriana. Imaji publik pun ramai memperbandingkan langkah keduanya dengan kisah klasik Siti Hawa yang melanggar larangan surga.
Analogi itu menggambarkan situasi: aturan sudah jelas, larangan sudah disampaikan, tetapi tetap saja diterabas. Bedanya, kalau dalam kisah klasik pelanggaran menyebabkan pengusiran dari surga, dalam konteks ini dampaknya menjerumuskan kredibilitas pejabat daerah serta menimbulkan pertanyaan besar tentang etika jabatan dan tata kelola pemerintahan.
Kisah bermula ketika SMA Siger tiba-tiba diumumkan membuka pendaftaran siswa baru pada 9–10 Juli 2025. Informasi ini datang langsung dari Wali Kota Eva Dwiana dalam sebuah pernyataan publik. Pemerintah Kota bahkan mengklaim biaya pendidikan sekolah tersebut gratis dan ditanggung oleh Pemkot. Namun di balik pengumuman tersebut, terdapat fakta krusial yang disembunyikan dari masyarakat: SMA Siger bukanlah sekolah milik Pemkot, tetapi sekolah swasta perorangan.
Salah satu pendiri sekaligus pemilik sekolah itu adalah Kepala Disdikbud sendiri, Eka Afriana, bersama empat pria lainnya yang terdaftar sebagai pengurus yayasan. Ironisnya, pejabat yang seharusnya menjalankan regulasi pendidikan justru berada dalam posisi konflik kepentingan yang serius.
Tak hanya soal kepemilikan, SMA Siger diketahui beroperasi tanpa legalitas yayasan dari Kemenkumham, sebuah pelanggaran mendasar yang bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Lebih jauh, para praktisi pendidikan, kepala sekolah swasta, dan sejumlah anggota legislatif Lampung telah memperingatkan risiko pelanggaran aturan ini. Namun peringatan itu diabaikan. Sekolah tetap beroperasi, dan proses penerimaan siswa tetap digelar.
Pada pertengahan November 2025, publik dikejutkan lagi oleh temuan lebih besar: sekolah tersebut menggunakan aset negara berupa gedung SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 tanpa prosedur pinjam pakai yang sah. Kabid Dikdas, Mulyadi, mengaku ada izin pemakaian aset, tetapi tidak mampu menunjukkan dokumen resmi seperti Berita Acara Serah Terima (BAST). Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud pun tidak memberikan klarifikasi yang memadai, menimbulkan dugaan kuat bahwa proses penggunaan aset negara dilakukan tanpa mekanisme hukum yang semestinya.
Hal ini membuat posisi Eva Dwiana dan Eka Afriana semakin disorot. Pertanyaan pun bermunculan: apakah seluruh proses ini berlangsung di bawah instruksi, atau ada permainan terselubung demi kepentingan pihak tertentu? Apakah keputusan-keputusan ini dibuat dengan pertimbangan publik, atau justru demi kepentingan pribadi pengurus yayasan?
Yang lebih ironis, pendirian SMA Siger ditentang keras oleh forum kepala sekolah swasta yang merasa keberadaan sekolah tersebut tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak prinsip keadilan dalam ekosistem pendidikan. Para pengelola sekolah swasta menilai kebijakan ini tidak hanya mengabaikan legalitas, tetapi juga berpotensi mematikan sekolah-sekolah lain yang telah beroperasi dengan aturan yang benar.
Sementara itu, masyarakat luas masih menunggu sikap pemerintah pusat melalui Kemendikbud atau Kemenkumham terkait pelanggaran yang terjadi. Di tengah kisruh ini, publik bertanya-tanya: apakah ini sekadar kesalahan administratif, atau ada kepentingan politik dan ekonomi yang lebih dalam?
Sebagaimana kisah Siti Hawa dalam narasi lama, pelanggaran terhadap aturan membawa konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Dan kini, apakah konsekuensi atas pelanggaran regulasi pendidikan oleh pejabat publik akan mendapatkan jalan penyelesaian yang transparan dan adil?
Daftar pendiri Yayasan Siger Prakarsan Bunda pun telah terang—Eka Afriana sebagai pendiri, diikuti Khaidarmansyah sebagai Ketua, Satria Utama sebagai Sekretaris, Agus Didi Bianto sebagai Bendahara, serta Suwandi Umar sebagai Pengawas. Kelimanya adalah pemilik sah SMA Siger secara perorangan, bukan aset Pemkot Bandar Lampung.
Polemik SMA Siger menjadi cermin penting tentang betapa mudahnya aturan dilanggar ketika kekuasaan dan kepentingan pribadi bersinggungan. Publik kini menunggu apakah kasus ini akan menjadi pelajaran besar, atau sekadar lewat begitu saja tanpa perubahan.***







