PANTAU FINANCE— Bayangkan sejenak jika kita memiliki mesin waktu seperti milik Doraemon, dan menembus tahun 2045 — satu abad Indonesia merdeka. Di hadapan kita terbentang pemandangan Kota Baru Lampung di Jati Agung yang telah menjelma menjadi ibukota provinsi masa depan: cerdas, hijau, dan berkelanjutan. Dari udara, terlihat jalanan bebas polusi yang dilalui kendaraan listrik, gedung-gedung pemerintahan berlapis panel surya, dan taman keanekaragaman hayati yang membentang sejauh mata memandang. Anak-anak bersepeda ke sekolah di jalur hijau yang rindang, sementara teknologi digital mengatur lalu lintas dan energi secara otomatis. Tidak ada lagi kebisingan mesin dan asap, hanya harmoni antara manusia, teknologi, dan alam.
Namun, gambaran itu bukan sekadar fantasi. Ia adalah visi yang mungkin tercapai bila pembangunan Kota Baru Lampung dilakukan dengan paradigma baru — paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat sekaligus penjaga keseimbangan alam. Dalam filsafat pembangunan modern, kota bukan hanya kumpulan bangunan, melainkan organisme sosial yang hidup dan bernafas. Kota berkembang melalui kebijakan publik yang bijak, ekonomi yang inklusif, dan masyarakat yang sadar lingkungan. Membangun kota berarti membangun kesadaran bersama — bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi proyek peradaban.
Kota Baru Lampung harus menjadi simbol kebangkitan cara berpikir baru. Saat ini, Provinsi Lampung menghadapi backlog perumahan sekitar 37 persen; lebih dari seperempat penduduknya masih tinggal di rumah tidak layak huni. Menurut data Public Housing and Settlement Information Center (2024), kualitas tempat tinggal berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan sosial dan produktivitas masyarakat. Maka, pembangunan Kota Baru tidak boleh sekadar proyek beton, melainkan solusi ganda untuk mengatasi krisis perumahan dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
Konsep eco-smart city menjadi pilihan logis sekaligus moral: kota yang cerdas secara teknologi dan bijak terhadap alam. Dalam kota seperti ini, energi bersumber dari panel surya, air diolah kembali melalui sistem digitalisasi smart-water, transportasi dikelola tanpa emisi, dan masyarakat didorong untuk berpartisipasi aktif menjaga keberlanjutan lingkungan.
Namun, tidak ada visi besar tanpa kolaborasi. Di sinilah prinsip pentahelix menjadi fondasi utama: kolaborasi lima unsur — pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, dan media. Pemerintah berperan sebagai pengarah dan penjamin keberlanjutan kebijakan lintas periode politik. Dunia usaha, termasuk asosiasi pengembang seperti Himperra, menjadi motor investasi hijau dengan menghadirkan perumahan ramah lingkungan berbasis efisiensi energi. Akademisi, misalnya dari kampus ITERA, dapat menciptakan inovasi konkret seperti sistem transportasi listrik massal dan desain arsitektur tropis rendah karbon.
Sementara itu, komunitas dan masyarakat sipil harus menjadi pengawas moral agar pembangunan tetap adil dan berpihak pada rakyat kecil. Media pun memiliki tanggung jawab besar sebagai pilar edukasi dan transparansi, memastikan setiap kebijakan publik berjalan sesuai prinsip keberlanjutan. Bila kelima unsur ini bergerak serempak, harmoni pembangunan akan terwujud layaknya simfoni yang menghidupkan Kota Baru Lampung sebagai ikon kemajuan Sumatra.
Pemerintah Provinsi Lampung sendiri telah menyiapkan rencana pengembangan kawasan seluas ±1.308 hektare, dengan pembagian area untuk pusat pemerintahan, koridor pendidikan, serta kawasan perumahan rakyat sekitar 263 hektare. Rencana ini menjadi bagian penting dari RPJMD 2025–2029 dan mendapat dukungan penuh DPRD. Tantangan utamanya adalah pendanaan dan tata kelola. Karena itu, strategi blended finance — kombinasi dana pemerintah, swasta, CSR, dan obligasi hijau — menjadi solusi ideal.
Melalui skema Kredit Program Perumahan (KPP) dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, para pengembang lokal dan UMKM dapat memperoleh akses modal lunak untuk membangun rumah berkonsep hijau. Masyarakat menengah bawah pun bisa memiliki rumah layak dengan bunga rendah. Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga langkah kemanusiaan yang memastikan setiap warga Lampung mendapat tempat tinggal yang sehat dan produktif.
Untuk menjaga kesinambungan proyek, pembentukan Special Purpose Vehicle (SPV) atau Badan Pengelola Kawasan Kota Baru menjadi langkah strategis. SPV ini berfungsi mengelola perencanaan, perizinan, dan pengawasan lingkungan berbasis digital, memastikan transparansi dan efisiensi lintas periode pemerintahan. Dengan dukungan regulasi tata ruang dan insentif fiskal, kepercayaan investor akan meningkat, dan masyarakat pun mendapat kepastian hukum dalam kepemilikan lahan.
Kota Baru Lampung juga berpotensi menjadi laboratorium ekonomi sirkular pertama di Sumatra. Di sana, limbah diolah menjadi energi, taman keanekaragaman hayati (Kehati) dibangun seluas lima hektare sebagai paru-paru kota, dan kawasan komersial dikembangkan dengan prinsip rendah karbon. UMKM lokal akan diberdayakan untuk menjadi penyedia utama produk dan jasa hijau, menciptakan ekonomi baru yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Filosof ekonomi Tim Jackson menyebut konsep ini sebagai prosperity without growth — kemakmuran tanpa eksploitasi berlebihan. Kota Baru Lampung bisa menjadi wujud nyata konsep tersebut: kota yang tumbuh bukan karena konsumsi sumber daya, tetapi karena kolaborasi, kecerdasan sosial, dan inovasi manusia.
Mari bayangkan kembali dua dekade dari sekarang. Kota Baru Lampung berdiri megah dan hijau, menjadi magnet investasi hijau di Sumatra. Gedung-gedung pemerintahan terhubung melalui jaringan energi mandiri, anak muda bekerja di industri teknologi bersih, dan masyarakat hidup dalam harmoni lingkungan yang seimbang. Tak ada kesenjangan sosial mencolok; semua warga berkontribusi dalam pembangunan dan menikmati hasilnya bersama. Lampung pun tidak lagi sekadar gerbang Pulau Sumatra, melainkan mercusuar ekologi dan kecerdasan bangsa Indonesia.
Membangun Kota Baru bukan hanya proyek fisik, tetapi juga manifestasi optimisme kolektif. Ketika pemerintah, pengusaha, akademisi, komunitas, dan media bersatu dalam visi ekologis yang sama, maka yang terbangun bukan sekadar kota — melainkan peradaban yang berakar pada nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
Sebagaimana dikatakan filsuf Martin Heidegger, manusia tidak sekadar “tinggal di bumi”, tetapi “menjaga bumi agar layak ditinggali.” Inilah makna sejati dari eco-smart city: membangun tanpa merusak, maju tanpa kehilangan jati diri, dan hidup berdampingan dengan alam dalam keselarasan. Kota Baru Lampung adalah simbol harapan baru, tempat di mana peradaban dan lingkungan bersatu menciptakan masa depan yang layak bagi generasi mendatang.***