PANTAU FINANCE- Keberhasilan Pemprov Lampung menutup 20 tambang ilegal beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan nasional. Publik menilai langkah ini sebagai bukti tegasnya pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi sumber daya alam. Namun, euforia itu seketika meredup ketika isu mengenai Sma Swasta Siger di Bandar Lampung muncul ke permukaan.
Sekolah yang dimiliki Eka Afriana, mantan Sekda Khaidarmansyah, bersama Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud Bandar Lampung, Satria Utama, ini diduga beroperasi tanpa izin resmi. Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa sekolah tersebut memanfaatkan aset dan dana milik pemerintah untuk kegiatan operasionalnya. Ironisnya, hampir seratus siswa saat ini belajar di sekolah ini, namun sebagian besar tidak terdaftar di dapodik, sehingga risiko mereka tidak mendapatkan ijazah sangat tinggi meski sudah menempuh pendidikan selama tiga tahun.
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, dan Kepala Disdikbud Thomas Americo disebut telah mengetahui praktik ilegal ini. Meski begitu, tidak ada langkah tegas yang diambil untuk menutup atau menertibkan sekolah tersebut. Thomas Americo sebelumnya menegaskan pada Kamis, 13 November, bahwa seluruh lembaga pendidikan harus mematuhi aturan administrasi perizinan. Namun faktanya, Sma Siger tetap beroperasi seperti biasa. Bahkan muncul temuan adanya praktik jual beli modul pembelajaran di sekolah yang diduga menggunakan dana dan aset negara.
Penggiat kebijakan publik, Abdullah Sani, juga sudah mendatangi bidang SMA Disdikbud Lampung pada Oktober 2025 untuk membicarakan penutupan sekolah Siger. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil nyata. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai posisi dan kewenangan Gubernur serta Disdikbud Provinsi Lampung. Bagaimana mungkin pemerintah provinsi yang mampu menutup 20 tambang ilegal justru tampak tidak berdaya menghadapi sebuah sekolah yang beroperasi di wilayah kota Bandar Lampung?
Kehebohan penutupan tambang ilegal yang sebelumnya memunculkan pujian publik, kini seolah pudar karena skandal pendidikan ini. Nama-nama seperti Eva Dwiana dan Eka Afriana turut terseret dalam kontroversi, menambah kompleksitas kasus yang menjadi sorotan masyarakat Lampung dan publik nasional. Dugaan penggunaan dana dan aset negara, ditambah kurangnya tindakan pemerintah, membuat kasus ini semakin panas dan memicu pertanyaan tentang akuntabilitas, transparansi, dan komitmen pemerintah dalam menegakkan aturan secara konsisten.
Sma Siger menjadi simbol masalah sistemik dalam pengawasan pendidikan di Lampung, di mana aturan seolah tidak berlaku bagi pihak-pihak tertentu. Publik kini menunggu langkah nyata dari Pemprov Lampung untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tidak semakin terkikis.***






